Halo, assalamualaikum.. Kebiasaan si mameh deh, udah lama gak posting-posting lagi di blog. Lah ini muncul lagi sekonyong-konyong dari antah berantah. Memang sesuai sama julukan mameh si moody blogger for ever 😀 Kali ini dalam rangka memperingati World's Mental Health Day 10 Oktober lalu aku mau cerita tentang menemukan kembali kebahagiaan setelah hampir gila jadi ibu anak tiga. Yes, it’s about Mameh’s Tale: From Madness to Happiness.
Flashback waktu masih mahmuda alias mamah muda anak dua udah ngerasa lengkap banget deh hidup ini. Diamanahi dua anak perempuan, full stay at home mom alias IRT, dan punya asisten rumah tangga. Jarak kakak ke adik hampir 5 tahun alhamdulillah nggak terlalu kerepotan karena si kakak bisa ngemong. Pas adiknya dua tahunan udah bisa ditinggal-tinggal, aku bisa ada waktu main sama ibu-ibu sekolah kakak. Sampai punya geng loh 🙂
Eh tapi dasar yang namanya manusia, ingin menambah lagi keribetan warna-warni kehidupan emak anak dua ini kemudian berencana punya 3 anak. Mencoba peruntungan anak laki-laki kali ini. Ikhitar konsul ke dokter sama pakai teori kesuburan dll. Kalau berhasil syukur alhamdulillah, kalau dapatnya perempuan lagi anak 3 cukup lah ya.
Singkat cerita, dikasih Allah anak ketiga dan laki-laki. Dunia yang tadinya sudah adem ayem tentrem tiba-tiba ramai huru hara lagi. Ternyata 3 anak itu banyaak yaah buat zaman sekarang. Hidup jadi lebih complicated nan seru.
Sudaaah cukuuuup beneran ini mah tutup pabrik. Kebetulan hamil ketiga menorehkan cerita dan trauma yang cukup parah di kehidupanku.
Waktu minggu ke 12 kehamilan sempat divonis janin kena kelainan genetik (kromosom)dan sejak itu dunia serasa runtuh. Sepanjang hidupku ini titik balikku yang paling parah. Aku menarik diri dan introspeksi dosa apa yang pernah kulakukan. Kebetulan saat itu pandemi jadi aku banyakin berdoa dan berikhtiar sana sini. Sampai akhirnya anaknya lahir dan normal, KEAJAIBAN dan kemurahan Sang Khalik.
Nanti deh cerita yang ini kudu di postingan khusus. Karena jujur traumanya berasa sampai sekarang..
My Current Life
Kalau ada yang bilang hidupku sekarang sudah lengkap, ya Alhamdulillah. Punya tiga anak, dua anak perempuan dan satu laki-laki, sebagai full time mom dan kali ini tanpa ART. Asisten yang sudah menemani perjalanan rumah tanggaku dari usia kakak 2 sampai 11 tahun yah kurang lebih 8 tahun. Alasannya suami minta beliau mengurus orangtua di Cimahi karena sudah sepuh. Kami sudah seperti keluarga jadi tetap kami akan sering ketemu juga.
Aku memutuskan nggak pakai ART lagi karena merasa sudah kuat (dikuat-kuatin). Sekalian mengajak anak-anak belajar mandiri, biar bisa mengerjakan apa yang ada di rumah. Cuci piring, menyapu, mengepel, dan lain-lain.
Tapi tahukah ujianku dimana? Ya banyak… Selain ujian aku ditakdirkan memiliki alis tipis, itu ujianku menggambar alis tiap hari. Heuheu...
Jadi ujianku itu dari sisi psikologis. Aku sarjana psikologi yang punya masalah kecemasan dan juga sering overthinking. Idealnya nih orang yang punya latar belakang psikologi semestinya bisa mengenali, menangani persoalan psikologi dan bisa membantu orang lain. Kenyataan berkata lain, aku malah struggling dengan pikiranku sendiri.
Trigger (pemicu) kecemasan ini datang dari orang-orang terdekat. Misalnya saat aku menghadapi karakter orang terdekat yang macam-macam dah udah kaya nano-nano. Ada yang susah dimotivasi, ada juga yang berkarakter keras dan tidak peduli, juga ada yang kasar dan main fisik sama pasangannya (KDRT). Malah, ada juga yang indikasi NPD (Narcisstic Personality Disoder).
Rindu itu memang berat, Dilan.. Tapi berhadapan sama orang-orang terdekat ini lebih berat buatku...
Kacau kacau kacau
Ketakutan dan kecemasan itu membuat aku seringkali bermimpi buruk. Apakah setiap kejadian buruk hari ini akan membawaku ke takdir yang buruk juga? Apakah orang-orang yang pernah buatku marah dan kesal akankah di masa depan kerap melukaiku?
Sarjana Psikologi Keblinger
Latar belakang psikologi buatku ternyata nggak cukup untuk memahami orang-orang di sekitar yang perilakunya aneh plus nyeleneh. Kuliah 4,5 tahun belajar psikologi perkembangan dan psikoterapi itu belum membuahkan apa-apa. Malah sepertinya nggak membekas di otakku.
Ada salah satu mata kuliah Psikologi Konseling, yaitu saat kita melakukan role play wawancara dengan klien. Kita mendapatkan dua peran satu sebagai konselor/psikolog dan satu lagi sebagai klien. Entah gimana, tapi saat itu aku nggak inget gimana waktu role play apa sih yang dibahas 🙁
Dan kok bisa lulus ya? Kayanya waktu itu cuma asal kuliah aja deh.. (Sad, but true guys..)
Kalau bisa memutar waktu lagi, aku pengen konseling beneran dengan psikolog. Karena setelah lulus jadi sarjana, ternyata aku ini punya banyak masalah dan belum melewati tahapan menyelesaikan masalahku sendiri. Yang kulakukan saat ini hanya memendam masalahku sampai bertahun-tahun kemudian jadi bom waktu.
Lebih dari pencapaian, bisa menuliskan masalahku di blog dan share ke media itu sebuah prestasi besar. Mana ada mameh dulu begini, semua kepahitan disimpan sendiri. Telen bulat-bulat jangan ada yang tahu. Ternyata menyimpan beban itu malah bikin sakit ke badan, ya. Apakabar asam lambungku yang sering kumat?! Jadi kuputuskan menuliskan perjalanan kegelisahan diri ini buat menyeimbangkan otakku yang udah njelimet juga sarana terapi menulis. Biar lebih waras 😀
Kontemplasi buat jiwa lebih baik
Sepertinya semua keadaan yang bikin nggak nyaman, overthiking, memaksaku untuk berkontemplasi. Aku harus berpikir ulang apa yang sebenarnya terjadi hari ini karena aku yang membiarkan diriku memikirkan masalah yang sudah berlalu.
Pernah disakiti, dibesarkan orangtua kurang maksimal perhatian dan dukungan karena kesibukan mereka, punya lingkungan toxic, teman manipulatif, dibenci saudara karena hasad, dan lain-lain.
Apa yang salah?
Sepertinya yang salah aku sendiri membiarkan terpengaruh sama hal negatif tadi. Energiku habis buat mikirin kenapa dan kenapanya. Sampai malas ngapa-ngapain, jadi bertemu orang juga malas.
Bagian malas bertemu orang ini dikritik anak-anak, kenapa sih terlalu introvert? Kenapa nggak mau bergaul sama ibu-ibu lain? Kenapa dan kenapa. Jujurly, bukan nggak mau bersosialisasi. Rasanya social energy ku cepat habis sama aktivitas dirumah, anak-anak plus overthinking itu. Apalagi si bungsu introvert juga, magnetku ketarik dia.
Rasanya bak orang paling menderita sedunia. Padahal aku merasa sudah berusaha menjadi orang yang baik-baik aja.
Lalu muncul kuliah-kuliah psikologi di FYP Instagram seolah semesta kasih petunjuk (Allah sih sebenernya..) Pencerahan itu misalnya aku harus tetap bersyukur dan membuang energi negatif dari hidupku. Termasuk menghilangkan perilaku orang yang membuatku nggak nyaman dari pikiranku. Kemudian aku harus set boundaries supaya nggak gampang dimanfaatkan orang.
Saatnya bilang selesai dengan masa lalu. Aku harus memaafkan dan melanjutkan hidup. Apalagi punya prioritas anak 3 yang harus kubesarkan sebaik-baiknya supaya mereka nggak punya trauma atau innerchild di masa dewasanya nanti.
Nggak hanya disitu aja, aku pakai tiga rumus ini...
Aturan pertama, jangan dengar apa yang nggak mau kamu dengar. Saat dengar kejadian buruk, suka langsung kepikiran merasa seolah-olah aku harus turun tangan menyelesaikannya. Padahal harusnya nggak begitu. Semuanya bukan tentangmu dan aku nggak harus jadi pahlawan dalam segala hal. Biarkan orang itu menyelesaikan masalahnya sendiri dan bantulah semampumu.
Kedua, jangan katakan apa yang nggak mau kamu katakan (hal yang buruk). Daripada mengatakan hal yang buruk, mending lupakan dan alihkan ke hal-hal yang lain. Misalnya menggambar atau baca buku.
Aturan ketiga, jangan lihat apa yang kamu nggak mau lihat. Seringkali melihat postingan yang negatif membuat jadi kepikiran ini dan itu. Detox social media sesekali perlu untuk rehat dari seliweran yang mengganggu. Termasuk unfollow orang yang menyakitimu itu 😀
Seperti terlahir kembali
Alhamdulillah untungnya Tuhan Maha Penyayang, dia akan menyayangi hamba yang telah mengetuk pintu doa padaNya. Jangan berhenti berdoa dan meminta petunjuk, Allah pasti akan berikan hidayah. Segala sesuatu sudah dalam pengaturanNya mungkin supaya kita jadi hamba-Nya yang lebih sabar juga berserah diri.
Sejak saat itu aku menata hidup lagi. Hanya fokus pada orang-orang yang sayang dan baik di hidupku dan berbuat yang lebih baik buat mereka. Pikiranku memang jadi lebih menyusut tapi semuanya buatku bahagia. Energi positif terkumpul, aku bisa senyum lagi dari hati.
Kalau saat itu aku nggak putuskan buat berhenti berpikir buruk mungkin aku masih terpuruk. Aku mau lakukan sesuatu lebih baik dan jadikan diriku versi terbaik.
Buat siapapun yang sedang mengalami hal yang sama, aku harap jangan terlalu keras ke diri sendiri. Seseorang yang seharusnya diperhatikan pertama kali adalah kesehatan mental dirimu sendiri. Cobalah buat mengambil jeda sejenak buat mencintai diri sendiri dan melakukan hal yang buat bahagia.
Terakhir, berikan kesempatan energi positif mengalir ke pikiranmu, tubuhmu, dan lingkunganmu. Fokus pada yang baik dan berbahagialah.
Terima kasih teman-teman yang sudah mau membaca curhatan ini sampai akhir semoga energi positifnya menular ya. Sampai ketemu lagi di postingan berikutnya, wassalamualaikum 🙂